Jangan Pernah mengeluhkan hidup Anda "Berani Hidup" MOTIVASI
Stop
worrying, start living. ~Anonymous
One
isn't necessarily born with courage, but one is born with potential.
Without
courage, we cannot practice any other virtue with consistency.
~Maya
Angelou
Be
a warrior, not a worrier.
~Jennie
S. Bev
Jangan Pernah mengeluhkan hidup Anda "Berani Hidup" MOTIVASI
Banyak
lagu di Indonesia yang bertemakan kesedihan dan kenestapaan. Betapa kasihannya
diriku karena aku orang miskin dan tidak punya. Ayah juga tidak punya, Ibunda
juga tiada. Istri juga belum punya, apalagi anak. Rumah juga hanya terbuat dari
bilik saja dan bepergian ke mana-mana naik bis kota yang sumpek dan berbau
keringat. Seringkali dihina pula. Ah, betapa aku orang yang sungguh perlu
dikasihani. Aku segan hidup, tapi belum mau mati.
Apa
yang tersirat di dalam lirik seperti itu? Kurangnya keberanian untuk hidup.
Kurangnya rasa syukur yang dalam akan
makna
hidup yang sebenarnya. Sudah diberi hidup untuk hari ini, masih juga
mempermasalahkan kemiskinan dan tidak punya ini dan itu. Padahal, cukup dengan
modal "hidup" saja, masalah kemiskinan dan tidak punya pasangan hidup
bisa dicari sendiri pemecahannya. Pendapat seperti ini banyak membuat hati saya
tidak enak, karena seakan-akan tidak bersyukur sama sekali akan harta tidak
ternilai, yaitu kehidupan yang diberikan kepada kita karena kita begitu
istimewa di mataNya.
Kekhawatiran
luar biasa membebani setiap langkah yang diambil di dalam hidup. Ini sangat
tidak baik. Kegalauan hati juga memberi warna kelabu, apalagi ketidakberanian
untuk mengubah diri.
Dengan
mempercayai bahwa diri kita lemah dan tidak berdaya, maka alam bawah sadar kita
sungguh percaya bahwa kita itu lemah dan tidak berdaya. Jadilah di dalam benak
hanya ada satu yang dicari-cari: rasa belas kasihan bagi diri kita, yang datang
baik dari luar maupun dari dalam diri.
Mungkin
Anda sekarang berpikir, "Ah, Ibu Jennie ini bisa saja, karena dia toh
tidak pernah merasakan naik bis kota. Dia kan ke mana-mana naik mobil mewah dan
makan di hotel berbintang lima." Eit, nanti dulu. Ketika saya kuliah di
Depok, saya memang mempunyai pilihan untuk diantar jemput oleh sopir pribadi
maupun naik bis kota karena orang tua mampu membiayai, walaupun mungkin dengan
sangat pas-pasan. Yang mana pilihan saya, menurut Anda? Naik bis kota setiap
hari.
Aneh bukan?
Waktu
itu belum ada bis Patas ber-AC, sehingga mau tidak mau saya naik bis dari
Sarinah ke Pancoran, terus dari Pancoran ke Pasar Minggu, dan dari Pasar Minggu
baru ada mobil unyil ke Depok. Turun di Margonda yang masih belum sepenuhnya
beraspal saat itu, saya jalan kaki di tanah yang kadang-kadang becek di kala
musim hujan dan selalu berlumpur tanah merah sepanjang tahun. Repot sekali
karena berarti celana jins dan sepatu kets saya mesti dicuci begitu tiba di
rumah, kalau tidak ya tanah merahnya akan menempel permanen nodanya.
Selama
perjalanan di dalam bis, tidak jarang saya mengalami hal-hal yang memalukan dan
diolok-olok karena tinggi tubuh saya yang 172 sentimeter, sangat jangkung untuk
ukuran Indonesia. Belum lagi wajah saya yang sangat "amoy" itu.
Hal-hal rasis dan olok-olok yang tidak-tidak karena fisik saya sudah menjadi
makanan sehari-hari. Paling tidak pasti ada sinar mata penuh rasa ingin tahu
yang saya terima setiap hari dari sesama para penumpang. Untunglah karena saya
langganan setiap hari, para supir dan kenek bis sudah kenal dengan si
"amoy jangkung" ini. Hal-hal begini sudah
membuat
saya "kebal" juga akhirnya.
Saat
itu pernah terbesit di benak saya, betapa sesungguhnya saya sangat berbeda dari
orang miens.blogspot.com
kebanyakan.
Jika dituliskan lagi mendayu-dayu ala dangdut maupun pop sendu Indonesia,
mungkin ada lirik begini, "Betapa malangnya nasibku, ayah tidak punya,
ibunda hidup susah kerja sendirian.
Belum
lagi tampangku Cina dan tinggiku seringkali mentok di dalam Metro Mini. Aku
hidup susah, semua orang melihatku aneh dan berbeda dari orang lain." Lucu
dan "kasihan banget" bukan?
Eh,
anehnya, tidak pernah satu kalipun saya merasa demikian. Malah kalau terdengar
lagu-lagu mendayu, hati ini rasanya geli sekali. Tidak jarang saya tertawa
terbahak-bahak mendengar hal-hal yang "mengasihani diri sendiri."
Mengapa? Karena di dalam benak saya, setiap hari haruslah menjadi hari yang
lebih baik daripada kemarin. Dan ini tidak bisa di dapat dengan memanjakan diri
bahwa "aku ini orang yang perlu dikasihani."
Seperti
billionaire philanthropist terkenal James Stowers pendiri American Century
Investments pernah berkata, "If you don't think tomorrow is going to be
better than today, why get up? You've got to believe each new day is going to
be better, and you have to be determined to make it so. If you are determined,
then certainlyl... the best is yet to be." Jika Anda tidak yakin bahwa
hari esok akan lebih baik, mengapa bangun pagi? Anda harus percaya bahwa setiap
hari baru akan menjadi lebih baik dari kemarin dan Anda mesti usahakan untuk
menjadikannya demikian. Keyakinan Anda
akan
menjadikannya yang terbaik, jauh lebih baik.
Beberapa
waktu lalu, pemerintah Indonesia memberikan label "desa miskin" untuk
desa-desa yang mempunyai income level di bawah garis kemiskinan. Saya sendiri
kalau diizinkan untuk berkomentar sedikit, tapi mudah-mudahan tidak dianggap
asbun ya. Bukankah sebaiknya ditulis "desa yang sedang membangun dengan
semangat besar menuju masa depan yang lebih cerah lagi." Untuk singkatnya,
ya "desa membangun" saja. Bagaimana efeknya ketika dibaca? Memberi
semangat keberanian untuk maju, bukan? Mudah-mudahan saja label "desa
miskin" seperti ini sudah
ditiadakan
saat ini. Saya doakan. Namun siapalah saya ini memberi masukan seperti ini.
Nah,
keberanian untuk hidup berarti juga tidak mengasihani diri sendiri sama sekali.
Berani hidup berarti berani menanggung kesulitan hidup karena mempunyai
kepercayaan diri yang besar bahwa semuanya pasti bisa diatasi. Setiap hari
adalah hari baru yang pasti lebih baik daripada hari kemarin. Kalau begitu, apa
lagi yang perlu dikhawatirkan? Mari kita mentertawai kekhawatiran dan ketakutan.