"Memelihara Jenggot"? dan Bagaimana pandangan jenggot dalam islam
Banyak hadits menyebutkan bahwa Rasulullah Saw memerintahkan
agar membiarkan (tidak mencukur) jenggot. Diantaranya hadits:
حَدَّثنََا
مُحَمَّدُ بْنُ مِنْ هَالٍ
حَدَّثنََا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْاٍ
حَدَّثنََا عُمَرُ بْنُ مُحَمَّدِ
بْنِ زَيْدٍ عَنْ نَافِاٍ
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ
الن بِ ىِ صلى
الله عليه - وَكَانَ ابْنُ
عُمَ رَ إِذَا حَجَّ
أَوِ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ
، - . » خَالِعُوا الْمُشْرِكِينَ ، وَف رُوا
اللِ حَى ، وَأَحْعُوا
الشَّوَارِبَ « وسلم قَالَ فَمَا
فَضَلَ أَخَذَهُ .
Muhammad bin Minhal menceritakan kepada kami; Yazid bin
Zurai’ menceritakan kepada kami; Umar bin Muhammad bin Zaid menceritakan kepada
kami, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, dari Rasulullah Saw, beliau bersabda:
“Bedakanlah diri kamu dari
orang-orang musyrik, biarkanlah jenggot dan rapikanlah kumis”.
Apabila Ibnu Umar melaksanakan ibadah haji atau Umrah,
beliau menggenggam jenggotnya, yang berlebih (dari genggaman itu) ia potong.
Apakah perintah Rasulullah Saw “Biarkanlah jenggot!” diatas
mengandung makna wajib? Atau hanya bersifat anjuran (an-Nadab)?
Ulama Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa makna perintah di
atas hanya bersifat anjuran, bukan wajib, oleh sebab itu mencukur jenggot hanya
dikatakan makruh. Berikut ini beberapa teks dari kitab-kitab ulama kalangan mazhab
Syafi’i:
) وَ (
يُكْرَهُ ) نَتْعهَُا ( أَيْ اللِ حْيَةِ
أوََّلَ طُلوُعِهَا إيثاَرًا لِلْمُرُودَةِ وَحُسْنِ الصُّورَة
“Makruh hukumnya mencabut jenggot
pada awal tumbuhnya untuk orang yang baru tumbuh jenggot dan untuk penampilan
yang bagus”.
Komentar Imam ar-Ramly terhadap teks ini:
Baca juga''Menikahi wanita yang lebih tua atau Dewasa, Boleh?
) قَوْلُهُ
وَيُكْرَهُ نَتْعُهَا ( أيَْ الل حْيَةِ
إلَخْ وَمِثْلُهُ حَلْقُهَا فَقَوْلُ الْحَلِيمِ ي فِي مِنْهَاجِهِ
لَا يَحِ لُّ لِأَحَدٍ
أَنْ يَحْلِقَ لِحْيَتَهُ ، وَلَا حَاجِبَيْهِ
ضَعِيفٌ
“Ucapan Syekh Zakariya al-Anshari,
“Makruh mencabut jenggot” dan seterusnya. Demikian juga halnya dengan mencukur
jenggot. Adapun pendapat al-Halimi dalam kitab al-Minhaj yang mengatakan bahwa
tidak halal bagi seseorang mencukur jenggot dan dua alis, pendapat ini adalah
pendapat yang dha’if.
)قوله:
ويحرم حلق لحية( المعتمد
عند الغزالي وشيخ الاسلام
وابن حجر في التحعة
والرملي والخطيب وغيرهم: الكراهة.
(Haram mencukur jenggot), pendapat yang kuat menurut Imam
al-Ghazali, Syaikhul Islam, Ibnu Hajar dalam at-Tuhfah, ar-Ramly, al-Khathib
dan lainnya: makruh.
إنَّ حَلْقَ الل حْيَةِ
مَكْرُوهٌ حَتَّى مِنْ الرَّجُلِ
وَلَيْسَ حَرَامًا
“Sesungguhnya mencukur jenggot itu
makruh, meskipun dilakukan oleh laki-laki dewasa. Bukan haram”.
) فَرْعٌ
( ذَكَرُوا هُنَا فِي اللِ
حْيَةِ وَنَحْوِهَا خِصَالًا مَكْرُوهَةً مِنْهَا نَتْعُهَا وَحَلْقُهَا
(Masalah Cabang): disini mereka sebutkan tentang jenggot dan
lainnya, ada beberapa perkara yang makruh, diantaranya adalah mencabut dan
mencukur jenggot.
Bukan hanya dari kalangan ulama mazhab Syafi’i saja yang
berpendapat demikian. Al-Qadhi ‘Iyadh dari Mazhab Maliki juga berpendapat
demikian:
وَقَالَ
الْقَاضِي عِيَاضٌ : يُكْرَهُ حَلْقُهَا وَقَصُّهَا وَتَحْرِيقُهَا
“al-Qadhi ‘Iyadh berkata: “Makruh
hukumnya mencukur, memotong dan membakar jenggot”.
Pendapat Syekh Jad al-Haq Ali Jad al-Haq, Grand Syaikh
Al-Azhar.
الأمر الوارد فى إععاء
اللحية مختلف فيه بين
الوجوب والسنة والندب
Perintah tentang membiarkan jenggot, ulama berbeda pendapat
tentang ini antara: wajib, Sunnah dan nadab (anjuran).
Syekh Jad al-Haq Ali Jad al-Haq melanjutkan,
وقد وردت أحاديث نبوية
شريعة ترغب فى الإبقاء
على اللحية والعناية بنظافتها،
كالأحاديث المرغبة فى السواك
وقص الأظافر والشارب وقد
حمل بعض العقهاء هذه
الأحاديث على الأمر، وسماها
كثير منهم سنة يثاب
عليها فاعلها ولا يعاقب
تاركها، ولا دليل لمن
قال إن حلق اللحية
حرام أو منكر إلا
الأحاديث الخاصة بالأمر بإععاء
اللحية مخالعة للمجوس والمشركين،
والأمر فى الأحاديث الواردة
عن الرسول صلى الله
عليه وسلم كما يكون
للوجوب يكون لمجرد الإرشاد
إلى الأفضل
Terdapat beberapa hadits yang menganjurkan membiarkan
jenggot dan memperhatikan kebersihannya, seperti hadits-hadits yang
menganjurkan menggosok gigi (bersiwak), memotong kuku dan kumis. Sebagian ahli
Fiqh memahami hadits-hadits perintah membiarkan jenggot mengandung makna wajib,
sebagian besar ahli Fiqh menyebutnya Sunnat; orang yang melakukannya
mendapatkan pahala dan yang tidak melakukannya tidak dihukum. Tidak ada dalil
bagi mereka yang mengatakan bahwa mencukur jenggot itu haram atau munkar selain
hadits-hadits khusus yang terkait dengan perintah membiarkan jenggot untuk
membedakan diri dengan orang-orang Majusi dan musyrik. Perintah dalam
hadits-hadits dari Rasulullah Saw tersebut sebagaimana ada yang memahaminya
mengandung makna wajib, juga mengandung makna sekedar anjuran kepada yang lebih
utama.
Syekh Jad al-Haq Ali Jad al-Haq melanjutkan,
والحق الذى ترشد إليه
السنة الشريعة وآداب الإسلام
فى الجملة أن أمر
الملبس والمأكل وهيئة الإنسان
الشخصية لا تدخل فى
العبادات التى ينبغى على
المسلم الالتزام فيها بما ورد
فى شأنها عن رسول
الله صلى الله عليه
وسلم وأصحابه، بل للمسلم أن
يتبا فيها ما تستحسنه
بيئته ويألعه الناس ويعتادونه
ما لم يخالف نصا
أو حكما غير مختلف
عليه وإععاء اللحية أو
حلقها - من الأمور المختلف
على حكم الأمر الوارد
فيها بالإععاء على ما تقدم
Kebenaran yang dianjurkan Sunnah yang mulia dan adab Islamy
dalam masalah ini, bahwa masalah pakaian, makanan dan bentuk fisik, tidak
termasuk dalam ibadah (mahdhah) yang seorang muslim mesti mewajibkan diri
mengikuti cara nabi dan para shahabat, akan tetapi dalam hal ini seorang muslim
mengikuti apa yang baik menurut lingkungannya dan baik menurut kebiasaan orang
banyak, selama tidak bertentangan dengan nash atau hukum yang tidak
diperselisihkan. Membiarkan atau mencukur jenggot termasuk perkara yang diperselisihkan
hukum perintahnya (apakah wajib atau anjuran), sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas.
Pendapat Syekh Ali Jum’ah Mufti Mesir.
Jika hal ini terkait dengan kebiasaan dan tradisi, maka itu
menjadi indikasi yang mengalihkan makna perintah dari bermakna wajib kepada
makna anjuran. Jenggot itu termasuk kebiasaan dan tradisi. Para Fuqaha’
menganjurkan banyak hal, padahal dalam nashnya secara jelas dalam bentuk
perintah, karena berkaitan dengan kebiasaan dan tradisi. Misalnya sabda
Rasulullah Saw:
غَي رُوا الشَّيْبَ وَلاَ
تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ
“Rubahlah uban. Janganlah kamu
menyamakan diri dengan orang-orang Yahudi”. (HR. at-Tirmidzi). Bentuk kata
perintah dalam hadits perintah merubah uban kejelasannya menyerupai hadits
perintah memelihara jenggot. Akan tetapi karena merubah uban bukanlah suatu
perbuatan yang diingkari di tengah-tengah masyarakat, maka tidak dilakukan.
Para ahli Fiqh berpendapat bahwa merubah uban itu hukumnya dianjurkan, mereka
tidak mengatakan diwajibkan.
Para ulama berpendapat berdasarkan metode ini. Para ulama
bersikap keras dalam hal pemakaian topi dan memakai dasi, mereka menyatakan
bahwa siapa yang melakukan itu berarti kafir. Bukanlah karena perbuatan itu
kafir pada zatnya. Akan tetapi karena perbuatan itu
mengandung makna kekafiran pada masa itu. Ketika pemakaian
dasi sudah menjadi tradisi, tidak seorang pun ulama mengkafirkan orang yang
memakainya.
Hukum jenggot pada masa Salaf, seluruh penduduk bumi, baik
yang kafir maupun yang muslim, semuanya memanjangkan jenggot. Tidak ada alasan
untuk mencukurnya. Oleh sebab itu ulama berbeda pendapat antara jumhur yang
mewajibkan memelihara jenggot dan Mazhab Syafi’i yang menyatakan bahwa
memelihara jenggot itu sunnat, tidak berdosa bagi orang yang mencukurnya.
Oleh sebab itu menurut kami pada zaman ini perlu mengamalkan
Mazhab Syafi’i, karena tradisi telah berubah. Mencukur jenggot itu hukumnya
makruh. Memelihara jenggot hukumnya sunnat, mendapat pahala bagi yang
menjaganya, dengan tetap memperhatikan tampilan yang bagus, menjaganya sesuai
dengan wajah dan tampilan seorang muslim. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam